Hakikat & Manfaat Muraqabah
Muraqabah adalah senantiasa menyadari dan meyakini hak Allah, secara lahir dan batin. Keadaan muraqabah ini adalah buah dari pengetahuan hamba, bahwa Allah itu selalu mengawasi, melihat, dan mendengar perkataannya, serta Allah amat teliti terhadap amalan hamba pada setiap waktu hingga setiap kedipan matanya. (Madarij As-Salikin, 449).
Allah Ta’ala berfirman,
<{إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}>
“Sesungguhnya Allah Maha menjaga mengawasi atas kalian.” (T.Q.S. An-Nisa: 1).
Ath-Thabari menjelaskan makna dari Ar-Rāqīb dalam ayat di atas adalah Dzat Yang senantiasa menjaga dan mengawasi dengan teliti amal-amal hamba-Nya. Adapun Al-Ghazali, beliau menjelaskan Ar-Rāqīb sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui dan Menjaga. Barangsiapa yang mengawasi sesuatu sampai-sampai tidak ada yang terluput darinya, memperhatikannya dengan terus-menerus, maka ini disebut ar-rāqīb. Makna Ar-Rāqīb bisa dikembalikan pada pengetahuan dan penjagaan yang sempurna. (An-Nahju Al-Asma, 273-274)
Baca Juga: Tiga Amalan Hati
Manfaat Muraqabah
Muraqabah akan membuahkan kebahagiaan, ketentraman, dan kesejukan bagi hati, karena muraqabah membutuhkan hati yang selalu menghadirkan Allah dan menghilangkan hal-hal yang menyibukkan dari-Nya -baik saat beribadah maupun selainnya- serta membutuhkan hati yang terisi dengan pengagungan dan kecintaan kepada Allah. Dengan demikian, kedekatan kepada Allah akan menumbuhkan kebahagiaan yang amat besar.
Ibnul Qayyim menukil perkataan Dzun Nun Al-Mishry, “Tanda-tanda adanya muraqabah adalah mendahulukan apa yang Allah turunkan, mengagungkan apa yang Allah agungkan, dan menganggap kecil apa yang Allah anggap kecil dari suatu perkara.”
Baca Juga: Hakikat & Tingkatan Khauf
Sementara itu, Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang tidak menjumpai dampak dari amalannya berupa manis dan lapangnya hati, maka curigailah keadaan tersebut! Karena sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri.” Maksudnya, Allah pasti membalas amalan seorang hamba di dunia dengan kebahagiaan, kelapangan, dan sejuknya hati. Jika seseorang tidak merasakannya, maka amalannya terindikasi rusak. (Madarij As-Salikin, 449-451).
